Indonesia dapat disebut sebagai negara dengan tingkat korupsi yang masuk dalam kategori paling luas (pervasive)
di dunia. Salah satu indikatornya adalah laporan dari Transparansi
Internasional yang selalu menempatkan Indonesia termasuk negara paling
korup di dunia. Indeks tingkat korupsi di Indonesia tahun 2012
dilaporkan naik dari peringkat 100 menjadi 118. Survei tersebut
dilakukan terhadap 176 negara di seluruh dunia.
Peringkat baru tersebut telah
menempatkan Indonesia sebagai “jawara” korupsi di Asia. Peringkat
korupsi Indonesia 2012 tersebut lebih buruk dari negara Asia Tenggara
lainnya. Tingkat korupsi Malaysia berada di peringkat 54 dengan nilai
49. Adapun Thailand dan Filipina menduduki peringkat negara terkorup di
posisi masing-masing 88 dan 105. Singapura menjadi negara Asia dengan
tingkat korupsi paling baik. Tingkat korupsi Singapura berada di posisi
5, mengalahkan negara Asia Timur seperti Cina dan Jepang yang
masing-masing menduduki peringkat 80 dan 17.
Penanganan Lemah
Meskipun program antikorupsi dilakukan
sejak awal reformasi, belakangan ini kasus korupsi ternyata
memperlihatkan angka dan jumlah yang fantastis. Keragaman aktor dan
bentuk korupsi juga semakin bervariasi. Selama semester pertama 2012, Indonesia Corruption Watch
(ICW) menemukan 285 kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 1,22
triliun. ICW mencatat jumlah tersangka korupsi mencapai 597 orang.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pun
mengakui adanya peningkatan kasus korupsi yang melibatkan sejumlah
pejabat daerah. Modus mereka beragam mulai dari penggelapan 92 kasus,
penggelembungan dana 83 kasus, hingga pemotongan anggaran dan
gratifikasi. Untuk kasus korupsi yang melibatkan PNS, ternyata sudah
menembus angka 1000, baik untuk kasus yang sedang diproses maupun yang
sudah menjalani proses hukum.
Menurut MNC Media Research Polling,
kasus korupsi di daerah berdasarkan data Kemendagri, sepanjang 2004
hingga 2012, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang
terlibat kasus kriminal. Di antara kasus-kasus tersebut, kasus korupsi
adalah kasus terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau 33,2 persen.
Sepanjang periode itu pula, sebanyak 155 kasus korupsi melibatkan kepala
daerah. KPK baru menyelesaikan 37 dari 155 kasus yang ada.
Dengan melihat data-data yang telah
dipaparkan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun genderang
perang terhadap tindak pidana korupsi telah ditabuh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) sejak awal kekuasaannya, ternyata hasilnya belum
menunjukkan perubahan yang signifikan dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Hal itu juga diakui oleh Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. Ia menyatakan bahwa korupsi
di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes),
karena sudah merasuki ke semua lembaga negara dan semua sektor dari
daerah hingga pusat. Bahkan korupsi sudah menjadi fenomena transnasional
sehingga perlu ditangani secara meluas dan komprehensif.
Kenyataan tersebut juga diperkuat oleh
hasil survey yang dilakukan MNC Media Research Polling di 10 kota di
Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa 71 persen responden menyatakan
setuju dengan gagalnya penanganan korupsi di Indonesia.
Lebih lanjut, hasil polling
terhadap 1.103 responden yang berusia 17 tahun ke atas menunjukkan bahwa
masyarakat pesimis terhadap penuntasan kasus-kasus korupsi di
Indonesia, apalagi ketika penanganan kasus-kasus korupsi oleh aparat
penegak hukum seolah hanya sebuah sandiwara politik semata.
Dengan demikian, meskipun akhir-akhir
ini KPK terlihat begitu gencar membongkar kasus-kasus korupsi baru,
seperti kasus korupsi Alquran, kasus suap Bupati Buol, hingga kasus yang
menggegerkan publik, yaitu kasus korupsi alat simulator SIM dengan
tersangka jenderal Polri bintang dua, tidak berarti bahwa kasus korupsi
di Indonesia akan segera tuntas ditangani oleh Pemerintah.
Dari data-data yang tersebut,
pemberanta-san korupsi di Indonesia sesungguhnya baru menyentuh pada
korupsi di peringkat yang rendah, yaitu pada level mikro atau maksimal
hanya pada level meso. Tingkat mikro yang dimaksud hanyalah korupsi yang
hanya melibatkan individu atau sekumpulan individu yang bersekongkol
untuk melakukan tindak korupsi. Pada level meso, yang dimaksud adalah
tindak korupsi yang dilakukan oleh organisasi, lembaga atau institusi.
Adapun korupsi dalam skala makro, yaitu
korupsi yang dilakukan dalam skala negara, sesungguhnya belum tersentuh
sama sekali. Korupsi dalam skala makro ini dikenal dengan istilah state corruption
(korupsi yang dilakukan oleh negara). Korupsi oleh negara adalah
korupsi yang dijalankan dalam bentuk pembuatan kebijakan atau peraturan
oleh negara, namun kebijakan tersebut akan memberikan dampak yang sangat
merugikan bagi rakyatnya sendiri. Di sisi lain, kebijakan itu justru
memberikan keuntungan yang sangat besar pada pihak-pahak tertentu, yakni
korporasi-korporasi besar, terutama korporasi asing. Oleh karena itu,
kejahatan korupsi oleh negara untuk kepentingan pihak korporasi besar
ini kemudian lebih dikenal dengan istilah korporatokrasi.
Korupsi skala negara inilah yang
seharusnya mendapat perhatian lebih besar. Akibat dari korupsi jenis ini
sungguh sangat mengerikan. Kita dapat menyaksikan kekayaan alam
Indonesia sekarang ini sudah bukan lagi menjadi milik rakyat Indonesia.
Sekarang ini perusahaan swasta asing telah mendominasi, bahkan
memonopoli kekayaan alam Indonesia. Korupsi yang berasal dari kebijakan
negara yang salah inilah yang layak disebut sebagai mega-korupsi. Ini
adalah bentuk korupsi yang belum tersentuh sama sekali.
Dari seluruh uraian di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa penangan kasus-kasus korupsi di Indonesia
sesungguhnya masih dapat dianggap gagal. Padahal kasus yang ditangani
tersebut masih tergolong kasus korupsi level mikro maupun meso. Belum
menyentuh kasus korupsi level makro atau level negara, yang faktanya
telah membawa kerugian yang besar bagi rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, menyelesaikan kasus
korupsi di Indonesia hanya dengan mengandalkan aparat penegak hukum yang
sekarang ini ada, termasuk di dalamnya adalah KPK, tidaklah mencukupi.
Indonesia memerlukan perubahan yang besar dan yang lebih fundamental
untuk menghadapi kasus-kasus korupsi yang terjadi, apalagi untuk
menghadapi kejahatan korupsi korporatokrasi. Perubahan tersebut tidak
lain adalah perubahan yang bersifat mendasar dan sistemik, yaitu dengan
mengganti sistem hukum sekular saat ini dengan hukum syariah di bawah
naungan Khilafah Islamiyah. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar