Senin, 04 Maret 2013

Pemerintahan: Korupsi Makin Menjadi-jadi

Indonesia dapat disebut sebagai negara dengan tingkat korupsi yang masuk dalam kategori paling luas (pervasive) di dunia. Salah satu indikatornya adalah laporan dari Transparansi Internasional yang selalu menempatkan Indonesia termasuk negara paling korup di dunia. Indeks tingkat korupsi di Indonesia tahun 2012 dilaporkan naik dari peringkat 100 menjadi 118. Survei tersebut dilakukan terhadap 176 negara di seluruh dunia.
Peringkat baru tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai “jawara” korupsi di Asia. Peringkat korupsi Indonesia 2012 tersebut lebih buruk dari negara Asia Tenggara lainnya. Tingkat korupsi Malaysia berada di peringkat 54 dengan nilai 49. Adapun Thailand dan Filipina menduduki peringkat negara terkorup di posisi masing-masing 88 dan 105. Singapura menjadi negara Asia dengan tingkat korupsi paling baik. Tingkat korupsi Singapura berada di posisi 5, mengalahkan negara Asia Timur seperti Cina dan Jepang yang masing-masing menduduki peringkat 80 dan 17.
Penanganan Lemah
Meskipun program antikorupsi dilakukan sejak awal reformasi, belakangan ini kasus korupsi ternyata memperlihatkan angka dan jumlah yang fantastis. Keragaman aktor dan bentuk korupsi juga semakin bervariasi. Selama semester pertama 2012, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 285 kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 1,22 triliun. ICW mencatat jumlah tersangka korupsi mencapai 597 orang.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pun mengakui adanya peningkatan kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat daerah. Modus mereka beragam mulai dari penggelapan 92 kasus, penggelembungan dana 83 kasus, hingga pemotongan anggaran dan gratifikasi. Untuk kasus korupsi yang melibatkan PNS, ternyata sudah menembus angka 1000, baik untuk kasus yang sedang diproses maupun yang sudah menjalani proses hukum.
Menurut MNC Media Research Polling, kasus korupsi di daerah berdasarkan data Kemendagri, sepanjang 2004 hingga 2012, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terlibat kasus kriminal. Di antara kasus-kasus tersebut, kasus korupsi adalah kasus terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau 33,2 persen. Sepanjang periode itu pula, sebanyak 155 kasus korupsi melibatkan kepala daerah. KPK baru menyelesaikan 37 dari 155 kasus yang ada.
Dengan melihat data-data yang telah dipaparkan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun genderang perang terhadap tindak pidana korupsi telah ditabuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak awal kekuasaannya, ternyata hasilnya belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal itu juga diakui oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. Ia menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes), karena sudah merasuki ke semua lembaga negara dan semua sektor dari daerah hingga pusat. Bahkan korupsi sudah menjadi fenomena transnasional sehingga perlu ditangani secara meluas dan komprehensif.
Kenyataan tersebut juga diperkuat oleh hasil survey yang dilakukan MNC Media Research Polling di 10 kota di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa 71 persen responden menyatakan setuju dengan gagalnya penanganan korupsi di Indonesia.
Lebih lanjut, hasil polling terhadap 1.103 responden yang berusia 17 tahun ke atas menunjukkan bahwa masyarakat pesimis terhadap penuntasan kasus-kasus korupsi di Indonesia, apalagi ketika penanganan kasus-kasus korupsi oleh aparat penegak hukum seolah hanya sebuah sandiwara politik semata.
Dengan demikian, meskipun akhir-akhir ini KPK terlihat begitu gencar membongkar kasus-kasus korupsi baru, seperti kasus korupsi Alquran, kasus suap Bupati Buol, hingga kasus yang menggegerkan publik, yaitu kasus korupsi alat simulator SIM dengan tersangka jenderal Polri bintang dua, tidak berarti bahwa kasus korupsi di Indonesia akan segera  tuntas ditangani oleh Pemerintah.
Dari data-data yang tersebut, pemberanta-san korupsi di Indonesia sesungguhnya baru menyentuh pada korupsi di peringkat yang rendah, yaitu pada level mikro atau maksimal hanya pada level meso. Tingkat mikro yang dimaksud hanyalah korupsi yang hanya melibatkan individu atau sekumpulan individu yang bersekongkol untuk melakukan tindak korupsi. Pada level meso, yang dimaksud adalah tindak korupsi yang dilakukan oleh organisasi, lembaga atau institusi.
Adapun korupsi dalam skala makro, yaitu korupsi yang dilakukan dalam skala negara, sesungguhnya belum tersentuh sama sekali. Korupsi dalam skala makro ini dikenal dengan istilah state corruption (korupsi yang dilakukan oleh negara). Korupsi oleh negara adalah korupsi yang dijalankan dalam bentuk pembuatan kebijakan atau peraturan oleh negara, namun kebijakan tersebut akan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi rakyatnya sendiri. Di sisi lain, kebijakan itu justru memberikan keuntungan yang sangat besar pada pihak-pahak tertentu, yakni korporasi-korporasi besar, terutama korporasi asing. Oleh karena itu, kejahatan korupsi oleh negara untuk kepentingan pihak korporasi besar ini kemudian lebih dikenal dengan istilah korporatokrasi.
Korupsi skala negara inilah yang seharusnya mendapat perhatian lebih besar. Akibat dari korupsi jenis ini sungguh sangat mengerikan. Kita dapat menyaksikan kekayaan alam Indonesia sekarang ini sudah bukan lagi menjadi milik rakyat Indonesia. Sekarang ini perusahaan swasta asing telah mendominasi, bahkan memonopoli kekayaan alam Indonesia.  Korupsi yang berasal dari kebijakan negara yang salah inilah yang layak disebut sebagai mega-korupsi. Ini adalah bentuk korupsi yang belum tersentuh sama sekali.
Dari seluruh uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa penangan kasus-kasus korupsi di Indonesia sesungguhnya masih dapat dianggap gagal. Padahal kasus yang ditangani tersebut masih tergolong kasus korupsi level mikro maupun meso. Belum menyentuh kasus korupsi level makro atau level negara, yang faktanya telah membawa kerugian yang besar bagi rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia hanya dengan mengandalkan aparat penegak hukum yang sekarang ini ada, termasuk di dalamnya adalah KPK, tidaklah mencukupi. Indonesia memerlukan perubahan yang besar dan yang lebih fundamental untuk menghadapi kasus-kasus korupsi yang terjadi, apalagi untuk menghadapi kejahatan korupsi korporatokrasi. Perubahan tersebut tidak lain adalah perubahan yang bersifat mendasar dan sistemik, yaitu dengan mengganti sistem hukum sekular saat ini dengan hukum syariah di bawah naungan Khilafah Islamiyah. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar